Sidrap, indonesian-times.com — Matahari sudah mulai lelah ketika H. Mashur tiba di Uluale.
Senja menyambutnya dengan lembut, seperti tangan hangat yang menjabat erat. Langit mulai berwarna oranye, dan para warga sudah berkumpul.

Bukan hanya sekadar pertemuan, ini lebih dari itu—ini silaturahmi, dialog, dan harapan yang berpendar di setiap mata yang menatapnya.
Di bawah naungan langit yang mulai gelap, ia berbicara. Bukan pidato yang berapi-api, bukan orasi panjang lebar.
Kalimatnya pendek-pendek, tetapi jelas seperti air sungai yang mengalir di antara sawah-sawah di Sidrap.
“Program saya ini, bukan janji manis,” ujarnya tenang. “Ini kebutuhan, bukan lagi keinginan.”
Warga Uluale mendengar dengan saksama. Mereka bukan buta akan janji politik. Tapi, ada sesuatu dalam caranya berbicara.
Sesuatu yang membuat mereka mau percaya. Mungkin karena Mashur tidak berbicara di atas panggung. Ia berbicara di tanah yang sama di mana mereka berpijak.
Di kampung ini, di sawah ini, ia menyampaikan HAMAS NA—singkatan program yang menjadi bendera perjuangannya.