Oleh: Edy Basri *)

Namanya Muin L.O.
Saya memanggilnya Kak Muin.
Ia adalah senior saya. Mentor saya.
Jurnalis yang saya panut sejak lama.
Bukan karena ia tenar, bukan pula karena jabatannya di redaksi.
Tapi karena kejujurannya dalam menulis, kesetiaannya pada fakta, dan sikapnya yang rendah hati.
Ia bekerja dalam senyap, tapi jejaknya terasa dalam pada siapa saja yang pernah mengenalnya.
Sore tadi, tiba-tiba telepon saya berdering.
Nama Kak Muin muncul di layar.
Saya angkat dengan cepat.
“Assalamu’alaikum, Kak…”
Suaranya terdengar pelan. Lirih.
Ada getar dalam ucapannya.
Saya langsung tahu, itu bukan suara yang biasa saya dengar.
Ia terdengar lemah, seperti sedang menahan sakit.
“Saya sakit, Dek,” katanya.
Hanya tiga kata, tapi berat rasanya mendengarnya.
Ia bercerita sebentar.
Penyakitnya komplikasi. Sudah beberapa rumah sakit ia datangi.
Keluar masuk dari rumah ke rumah sakit, lalu kembali ke rumah.
Tapi tak disebutnya di rumah sakit mana kini ia dirawat.
Nada suaranya tak ingin merepotkan, seolah tak ingin dibahas lebih jauh.
Saya tercekat. Diam sejenak.
Karena kalimatnya membuat dada saya terasa sesak.
Karena saya tahu, Kak Muin bukan orang yang mudah mengeluh.
Kalau hari ini ia menelepon, apalagi dengan suara seperti itu,
pasti sakitnya sudah sangat berat.
Saya mencoba menghibur. Menguatkan.
Tapi suara saya sendiri ikut bergetar.
Saya tahu betul siapa Kak Muin.
Ia bukan hanya jurnalis senior,
tapi juga guru yang mengajarkan banyak hal kepada saya,
tanpa pernah merasa sedang mengajar.
Darinya saya belajar menulis dengan rapi, teliti, dan bertanggung jawab.
Ia mengajarkan bahwa berita tak boleh hanya mengejar sensasi,
tapi harus berpegang pada etika dan fakta.
Bahwa integritas adalah hal utama,
dan keberanian bukan berarti kasar.
Ia selalu tampil tenang.
Tak pernah saya lihat ia mengangkat suara.
Tak pernah saya temukan satu pun tulisannya yang menyudutkan orang tanpa alasan.
Kak Muin menulis dengan hati.
Ia bekerja dengan nurani.
Dalam dunia jurnalistik yang kini kadang gaduh,
ia adalah suara tenang yang menjadi pelita.
Saya teringat hari-hari saat belajar menulis berita dengannya.
Ia sabar membimbing. Tak pernah marah jika saya salah.
Ia hanya mengoreksi pelan, memberi catatan, dan menyuruh saya mencoba lagi.
Banyak yang saya dapat darinya.
Dan tak sedikit yang juga merasakan hal yang sama.
Karena Kak Muin bukan hanya membentuk wartawan,
ia membentuk manusia.
Hari ini ia terbaring lemah.
Dan saya merasa kehilangan.
Bukan karena ia pergi,
tapi karena saya tahu ia sedang berjuang menahan sakit sendirian.
Saya hanya bisa mendoakan.
Agar Allah mengangkat penyakitnya.
Memberi kesembuhan total.
Dan mengembalikan semangatnya seperti dulu.
Karena jurnalisme masih butuh orang seperti Kak Muin.
Yang menulis bukan untuk kekuasaan,
tapi untuk kebenaran.
Yang tak silau oleh sorotan,
tapi tetap teguh di jalan sunyi.
Yang tidak mengejar popularitas,
tapi meninggalkan warisan moral yang tak lekang oleh waktu.
Kak Muin, jika tulisan ini sampai padamu…
Ketahuilah bahwa engkau tak sendiri.
Ada banyak yang diam-diam mendoakanmu.
Dan saya salah satunya.
Semoga segera sembuh, Kak.
Kami rindu tulisan-tulisanmu.
Kami rindu kehadiranmu yang selalu menenangkan.
Dan kami masih ingin belajar banyak darimu. (*)
*) Edy Basri, Pimred Katasulsel.com
Referensi: Feature News Edy Basry
Disalin: M. BASIR
Asisten Redpel Indonesian-times.com